03.23.00 -
1 comment
Sarinah Pergi Ke Pasar
Seminggu yang lalu teman saya datang ke warung. Dia
datang dari salahsatu kota di pesisir utara jawa, kami dulu pernah satu kelas
dan sayangnya tinggal saya saja yang belum lulus. Singkat cerita, entah ada
angin apa saya begitu bersemangat mendengarkan cerita yang berbau “kiri” hingga akhirnya terbesit untuk menulis sesuatu
disini. “Kiri”, mungkin bagi sebagian yang membaca agak merinding mbacanya yo.
Kata tersebut dianggap mewakili ideologi yang bersimpangan dengan ajaran
Pancasila. Padahal, apa yang mbaca disini yakin Pancasila benar – benar
bersimpangan dengan ajaran yang diwakili dengan kata “kiri” tersebut? jangan
manggut – manggut doang, saya kan tadi tanya karena gak tau, bukan karena
ngasih tebak – tebakan. Kiri dalam aplikasi kehidupan sehari – hari juga tak
dapat dipisahkan. Apa iya kita jalan harus belok kanan terus? Kita “cawik” pake
tangan kanan? Kita mindah porseneling mobil pake tangan kanan? Lak endak toh,
semuanya masih butuh kiri dalam kehidupan sehari – hari (analogi ngawur).
Namun di tulisan ini saya ndak mbahas tangan kiri
tadi. Yang saya bahas disini adalah sebuah nama yang tidak asing bagi anda yang
seumuran sama saya (atau yang lebih tua dari saya). Pernah dengar dengan nama
Sarinah? (itu bukan nama emak saya
lho) Pasti tahu lah ya. Bagi yang sempat berfikir Sarinah adalah nama sebuah
monyet dalam komedi jalanan, anda – anda sekalian tidaklah salah. Memang benar
monyet di “topeng monyet” hampir selalu dinamakan Sarinah. Sebenarnya siapa sih
yang memulai nama Sarinah duluan di monyetnya hmm, kan kasihan bagi yang punya
sarinah atau ibuknya namanya sarinah jadi sedikit tersinggung kalau lihat
“topeng monyet”.
“Ah namanya juga hiburan rakyat, gak boleh
tersinggung, kan niatnya untuk menghibur”
Lantas saya cari – cari di google dan wikipedia
bagaimana dan kapan topeng monyet muncul di Indonesia. Dirangkum dari beberapa
sumber yang saya buka di web, tidak ada yang menuliskan tahun pasti kapan. Ada
yang bilang kalau topeng monyet itu merupakan representasi dari sirkus yang
dibawakan alakadarnya di jalanan sebagai hiburan murah meriah bagi masyarakat
pribumi maupun belanda pada saat itu. Ada juga yang bilang kalau topeng monyet
sangat terkenal di Jawa Timur, lebih – lebih di Ponorogo. Disana, monyet di
dandani layaknya reog (budaya khas
daerah) dan menampilkan atraksi yang menimbulkan decak tawa bagi anak – anak.
Hingga tahun 90an topeng monyet masih eksis berada di jalanan kota untuk
menghibur anak – anak.
“Sarinah pergi ke pasar.....” (diiringi tetabuhan dari
abangnya)
“dung..dung..dung..dung”
Seketika itu pula kerumunan anak – anak tertawa, semua
bergembira karena itulah yang dicari dalam komedi jalanan tersebut. Yang
menjadi kesimpulan saya, topeng monyet muncul sebelum negara ini merdeka dan
cukup lama menghibur masyarakat di daerah masing – masing. Lalu bagaimana
dengan sarinah? Kenapa Sarinah dan Sarimin (dalam tulisan ini saya meng khususon kan sarinah menjadi fokus
bahasan) menjadi nama dari topeng monyet tersebut? Survey kecil – kecilan saya
lakukan pada teman – teman saya yang lahir di awal tahun 90an tentang topeng
monyet, ya namanya juga kecil – kecilan jadi jangan tanya reliabilitas sama
validitasnya.yo. Dari sekian yang menjawab survey saya, hampir semua suka
dengan topeng monyet di masanya (masa yang saya maksud adalah masa anak – anak mereka).
Mereka juga tahu sarinah, kalau ga njawab nama monyetnya, ya mereka menjawab
nama salahsatu swalayan.
Adalah benar jika Sarinah dijawab sebagai swalayan,
sampai sekarang juga masih ada kok dan jangan salah itu punyaknya pemerintah lo
mas, mereka berbentuk BUMN. Tapi namanya juga swalayan lama, anda – anda saja
yang menilai jangan saya he he he.
“Sarinah pergi ke pasar.....” (diiringi tetabuhan dari
abangnya)
“dung..dung..dung..dung”
Saatnya saya menjelasken
siapa itu Sarinah. Sarinah adalah pengasuh dari Soekarno kecil. Sedikit sekali
yang membahas asal usul dari beliau, bahkan ada yang menilai Sarinah adalah
tokoh fiktif yang diciptakan Soekarno untuk memotivasi dirinya dan bangsanya. Itupun
juga muncul perdebatan (ya memang kalau ga debat memang ga asik ya) ketika
surat kabar di tahun 60an memajang foto Soekarno duduk dengan seorang perempuan
tua dan salahsatu press istana mengatakan beliaulah yang bernama Sarinah (who knows). Sarinah sangatlah dihormati
oleh Soekarno, belaiulah yang menanamkan budi pekerti dan nilai kemanusiaan.
“Sarinah mengadjarku
untuk mentjintai rakjat. Massa rakjat, rakjat djelata,” ujar Soekarno dalam
otobiografinya yang ditulis oleh penulis dan kolumnis Amerika, Cindy Adams.
Saking hormatnya Soekarno
dengan beliau, beliau menulis buku pedoman untuk wanita pada saat itu (gapaham
isinya apa) dan diberi judul dengan nama “Sarinah”. Padahal untuk urusan orang
yang disayanginya bisa saja Soekarno memberi judul dengan nama ibunya atau bisa
juga dengan Fatmawati nama istrinya.
Selain buku, mari kita
membahas swalayan. “Sarinah” dibangun di tahun 60an oleh Soekarno ditengah
inflasi melanda Indonesia. Edan tenan, saya katakan edan karena itu sebagian
dari proyek “gagah – gagahan” beliau selain pembangunan Gelora Bung Karno satu
paket demi menunjukkan eksistensi Indonesia berdikari. Pembangunan pusat
perbelanjaan tersebut sebagai bentuk perlawanan pada kapitalisme dan karena itu
pula produk – produk yang didalamnya haruslah pro rakyat.
“Janganlah ada satu manusia
yang mengira, bahwa departement store (Sarinah) adalah proyek
lux. Tidak!,” begitulah Soekarno menjawab para pengkritik pembangunan Gedung
Sarinah.
Di awal 90an Sarinah
kembali di lirik, bukan tanpa alasan restoran makanan cepat saji punyaknya Paman
Sam (yang dulu dilawan Soekarno) menyewa
tempat di lantai satu Sarinah. Sarinah pun kembali ramai. Disusul Hardrock kafe
juga menyewa salahsatu bagian dari Sarinah. Entah, jika Soekarno tau hal ini
apa reaksinya ya? Sarinah dulu dan sekarang~ malang nasibmu~
“Sarinah pergi ke pasar.....” (diiringi tetabuhan dari
abangnya)
“dung..dung..dung..dung”
Setelah Soekarno jatuh entah darimana kosakata itu
muncul, ya lucu sih tapi kenapa harus itu yang menjadi bahan lelucon mengingat
Sarinah begitu besar kiprahnya dibalik panggung kemerdakaan. Kosakata tersebut
disinyalir muncul pada saat orde baru, menjelma menjadi bahan lelucon yang
akrab di telinga anak – anak yang lahir pada saat itu (ternasuk saya), kemudian
menjadi doktrinasi di alam bawah sadar bahwa Sarinah tidak bermakna.
Saya pribadi juga tau akan hal ini belakangan, dan
cukup sedikit pula yang menuliskannya di internet. Teruntuk mas mas dan mbak
mbak yang menuliskan artikel serupa, saya ucapken terimakasih banyak ilmunya. Semoga
Tuhan menghancurkan yang bathil.
1 komentar:
Keren.
Posting Komentar