Selasa, 30 Agustus 2016

03.23.00 - 1 comment

Sarinah Pergi Ke Pasar


Seminggu yang lalu teman saya datang ke warung. Dia datang dari salahsatu kota di pesisir utara jawa, kami dulu pernah satu kelas dan sayangnya tinggal saya saja yang belum lulus. Singkat cerita, entah ada angin apa saya begitu bersemangat mendengarkan cerita yang berbau “kiri”  hingga akhirnya terbesit untuk menulis sesuatu disini. “Kiri”, mungkin bagi sebagian yang membaca agak merinding mbacanya yo. Kata tersebut dianggap mewakili ideologi yang bersimpangan dengan ajaran Pancasila. Padahal, apa yang mbaca disini yakin Pancasila benar – benar bersimpangan dengan ajaran yang diwakili dengan kata “kiri” tersebut? jangan manggut – manggut doang, saya kan tadi tanya karena gak tau, bukan karena ngasih tebak – tebakan. Kiri dalam aplikasi kehidupan sehari – hari juga tak dapat dipisahkan. Apa iya kita jalan harus belok kanan terus? Kita “cawik” pake tangan kanan? Kita mindah porseneling mobil pake tangan kanan? Lak endak toh, semuanya masih butuh kiri dalam kehidupan sehari – hari (analogi ngawur). 

Namun di tulisan ini saya ndak mbahas tangan kiri tadi. Yang saya bahas disini adalah sebuah nama yang tidak asing bagi anda yang seumuran sama saya (atau yang lebih tua dari saya). Pernah dengar dengan nama Sarinah? (itu bukan nama emak saya lho) Pasti tahu lah ya. Bagi yang sempat berfikir Sarinah adalah nama sebuah monyet dalam komedi jalanan, anda – anda sekalian tidaklah salah. Memang benar monyet di “topeng monyet” hampir selalu dinamakan Sarinah. Sebenarnya siapa sih yang memulai nama Sarinah duluan di monyetnya hmm, kan kasihan bagi yang punya sarinah atau ibuknya namanya sarinah jadi sedikit tersinggung kalau lihat “topeng monyet”. 

“Ah namanya juga hiburan rakyat, gak boleh tersinggung, kan niatnya untuk menghibur”

Lantas saya cari – cari di google dan wikipedia bagaimana dan kapan topeng monyet muncul di Indonesia. Dirangkum dari beberapa sumber yang saya buka di web, tidak ada yang menuliskan tahun pasti kapan. Ada yang bilang kalau topeng monyet itu merupakan representasi dari sirkus yang dibawakan alakadarnya di jalanan sebagai hiburan murah meriah bagi masyarakat pribumi maupun belanda pada saat itu. Ada juga yang bilang kalau topeng monyet sangat terkenal di Jawa Timur, lebih – lebih di Ponorogo. Disana, monyet di dandani layaknya reog (budaya khas daerah) dan menampilkan atraksi yang menimbulkan decak tawa bagi anak – anak. Hingga tahun 90an topeng monyet masih eksis berada di jalanan kota untuk menghibur anak – anak.

“Sarinah pergi ke pasar.....” (diiringi tetabuhan dari abangnya)

“dung..dung..dung..dung”

Seketika itu pula kerumunan anak – anak tertawa, semua bergembira karena itulah yang dicari dalam komedi jalanan tersebut. Yang menjadi kesimpulan saya, topeng monyet muncul sebelum negara ini merdeka dan cukup lama menghibur masyarakat di daerah masing – masing. Lalu bagaimana dengan sarinah? Kenapa Sarinah dan Sarimin (dalam tulisan ini saya meng khususon kan sarinah menjadi fokus bahasan) menjadi nama dari topeng monyet tersebut? Survey kecil – kecilan saya lakukan pada teman – teman saya yang lahir di awal tahun 90an tentang topeng monyet, ya namanya juga kecil – kecilan jadi jangan tanya reliabilitas sama validitasnya.yo. Dari sekian yang menjawab survey saya, hampir semua suka dengan topeng monyet di masanya (masa yang saya maksud adalah masa anak – anak mereka). Mereka juga tahu sarinah, kalau ga njawab nama monyetnya, ya mereka menjawab nama salahsatu swalayan.

Adalah benar jika Sarinah dijawab sebagai swalayan, sampai sekarang juga masih ada kok dan jangan salah itu punyaknya pemerintah lo mas, mereka berbentuk BUMN. Tapi namanya juga swalayan lama, anda – anda saja yang menilai jangan saya he he he.

“Sarinah pergi ke pasar.....” (diiringi tetabuhan dari abangnya)

“dung..dung..dung..dung”
Saatnya saya menjelasken siapa itu Sarinah. Sarinah adalah pengasuh dari Soekarno kecil. Sedikit sekali yang membahas asal usul dari beliau, bahkan ada yang menilai Sarinah adalah tokoh fiktif yang diciptakan Soekarno untuk memotivasi dirinya dan bangsanya. Itupun juga muncul perdebatan (ya memang kalau ga debat memang ga asik ya) ketika surat kabar di tahun 60an memajang foto Soekarno duduk dengan seorang perempuan tua dan salahsatu press istana mengatakan beliaulah yang bernama Sarinah (who knows). Sarinah sangatlah dihormati oleh Soekarno, belaiulah yang menanamkan budi pekerti dan nilai kemanusiaan.
“Sarinah mengadjarku untuk mentjintai rakjat. Massa rakjat, rakjat djelata,” ujar Soekarno dalam otobiografinya yang ditulis oleh penulis dan kolumnis Amerika, Cindy Adams.
Saking hormatnya Soekarno dengan beliau, beliau menulis buku pedoman untuk wanita pada saat itu (gapaham isinya apa) dan diberi judul dengan nama “Sarinah”. Padahal untuk urusan orang yang disayanginya bisa saja Soekarno memberi judul dengan nama ibunya atau bisa juga dengan Fatmawati nama istrinya.
Selain buku, mari kita membahas swalayan. “Sarinah” dibangun di tahun 60an oleh Soekarno ditengah inflasi melanda Indonesia. Edan tenan, saya katakan edan karena itu sebagian dari proyek “gagah – gagahan” beliau selain pembangunan Gelora Bung Karno satu paket demi menunjukkan eksistensi Indonesia berdikari. Pembangunan pusat perbelanjaan tersebut sebagai bentuk perlawanan pada kapitalisme dan karena itu pula produk – produk yang didalamnya haruslah pro rakyat.

“Janganlah ada satu manusia yang mengira, bahwa departement store (Sarinah) adalah proyek lux. Tidak!,” begitulah Soekarno menjawab para pengkritik pembangunan Gedung Sarinah.


Ketika Sarinah resmi berdiri, tantangan pada era itu sangat kompleks, peritiwa politik berdarah tahun 65 menyeret Soekarno terjun kedalam yang pada akhirnya menjadi tahanan politik di rumahnya sendiri hingga orde baru. Terbilang hanya sekejap Soekarno dapat menikmati “Sarinah” buatannya. Sarinah megah saat itu, berbekal dana pinjaman dari Nihon dan mendapat pengawasan langsung dari 2 perusahaan yang bergerak dalam bidang serupa, Sarinah menjadi yang dipandang namun tetap membumi. Hal tersebut tidak berlangsung lama akibat kondisi politik dan ekonomi yang tidak stabil berdampak pada PHK besar – besaran karyawan di tahun 67, ditambah banyak investor barat yang “di jalan tol” kan pada penguasa rezim itu membuat Sarinah semakin ringkih.
Di awal 90an Sarinah kembali di lirik, bukan tanpa alasan restoran makanan cepat saji punyaknya Paman Sam (yang dulu dilawan Soekarno)  menyewa tempat di lantai satu Sarinah. Sarinah pun kembali ramai. Disusul Hardrock kafe juga menyewa salahsatu bagian dari Sarinah. Entah, jika Soekarno tau hal ini apa reaksinya ya? Sarinah dulu dan sekarang~ malang nasibmu~

“Sarinah pergi ke pasar.....” (diiringi tetabuhan dari abangnya)

“dung..dung..dung..dung”

Setelah Soekarno jatuh entah darimana kosakata itu muncul, ya lucu sih tapi kenapa harus itu yang menjadi bahan lelucon mengingat Sarinah begitu besar kiprahnya dibalik panggung kemerdakaan. Kosakata tersebut disinyalir muncul pada saat orde baru, menjelma menjadi bahan lelucon yang akrab di telinga anak – anak yang lahir pada saat itu (ternasuk saya), kemudian menjadi doktrinasi di alam bawah sadar bahwa Sarinah tidak bermakna.

Saya pribadi juga tau akan hal ini belakangan, dan cukup sedikit pula yang menuliskannya di internet. Teruntuk mas mas dan mbak mbak yang menuliskan artikel serupa, saya ucapken terimakasih banyak ilmunya. Semoga Tuhan menghancurkan yang bathil.


1 komentar:

Posting Komentar