11.14.00 -
2 comments
Mengingat Cak Munir Merawat Ingatan
7 September 2016 bukan tanggal istimewa, tapi 12 tahun lalu ada
sebuah kasus yang ndak kalah serunya sama misteri kopi sianida kekinian.
Bedanya, 12 tahun lalu kasus ini bikin “sebagian” Jenderal kebakaran jenggot,
lantaran wong cilik pada angkat suara
atas kematiannya. Kasusnya pun tidak dikawal secara penuh oleh hakim.
Cak Munir namanya, Munir Said thalib yang lahir pada 8
Desember 1965 di Batu sebuah dataran tinggi di Malang raya ini berdarah indo
arab. Seorang Muslim kentel yang
sehari – hari membantu nasib hak – hak orang yang dilanggar. Dari kampus
Brawijaya Munir muda mengangkat perlindungan hukum buruh dalam tugas akhir
strata satunya. Setelah lulus cak Munir bergabung dalam LBH Surabaya, kasus
yang terkenal kala itu adalah Marsinah. Seorang buruh wanita yang mati – matian
menuntut hak para buruh dan berujung pada nyawanya yang hilang di kaki aparat.
“woooo maarrsiinaaaahhh..... kau termarjinalkaaaannn..” kata Marjinal (group band scene punk)
Saat meledaknya peristiwa 98, cak Munir menjadi koordinator
badan pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras). Kemelut
politik yang berakhir pada lengsernya smilling
general diwarnai dengan banyaknya aksi pelanggaran HAM berat. Penculikan 13
orang aktivis benar – benar menjadi sorotan. Yang awalnya pemerintah (atau
lebih tepatnya aparat) bersikap defensif,
kemudian mulai menanggapi kasus tersebut akibat banyak sorotan publik baik
dalam maupun luar negeri terkait hal itu.
Usaha kontras (tentunya tidak sendiri) membuahkan hasil, pembuktian
bahwa adanya “tim mawar” di tubuh angkatan darat yang bertugas menculik para
aktivis karena dianggap berbahaya menyeret 7 oknum anggota kopassus, 2 perwira
tinggi dan 1 perwira menengah ke ranah hukum. Dua perwira tinggi tersebut
jabatannya ndak main – main, satu perwira menjabat sebagai deputi BIN sedangkan
yang satunya menjabat sebagai Danjen Kopassus.
Nama cak Munir mulai dikenal banyak orang bahkan sampai luar
negeri. Berbagai penghargaan menjadi ganjaran atas dedikasinya, salahsatunya
yang saya takjub adalah beliau mendapatkan The Right Livelihood Award
(Alternative Nobel Prizes) untuk promosi HAM dan kontrol sipil atas
militer di Stockholm pada tahun 2000. Sepak terjangnya, sempat membuat sebuah
pertanyaan yang terlintas di kepala
“cak, sameyan iki anti militer yo? Opo jangan – jangan sameyan titisan PKI?”
Cak Munir sama sekali tidak anti tentara. Salah satu
contohnya adalah cak Munir justru berperan aktif dalam perumusan RUU TNI dalam
periode 2000an yang mana pada saat itu ada pasal “sakti” dimana apabila dalam
keadaan terdesak Panglima TNI dapat mengambil kekuasaan penuh terhadap
perpolitikan negara. Jelas pasal tersebut ditentang cak Munir dan aktivis pro
demokrasi lainnya. “Pasal keblinger itu!”, tutur saya dalam hati. Jika dikembalikan pada tugas pokok TNI
seharusnya aparat menjadi alat pertahanan, bukan pada ranah perpolitikan.
“Ada ketegangan antara TNI sebagai satuan otonom politik berhadapan dengan otoritas sipil. Sayangnya, ketegangan ini tidak diselesaikan melalui RUU TNI, tetapi justru diperpanjang“, ujar cak Munir dalam wawancara media pada awal Agustus 2004.
Hal lainnya adalah cak Munir ikut terlibat dalam tim perumus
RUU Pertahanan. Beliau gencar memperjuangkan kesejahteraan prajurit yang
kemudian termaktub dan dikenal dengan “Pasal Munir”. Cak Munir melihat pada
kala itu gaji tamtama dan bintara adalah jauh dari kata “sejahtera”, hingga
akhirnya mereka melakukan pekerjaan sampingan dan menggunakan status
keanggotaanya sebagai aparat. Dirangkum dari omahmunir.com cak Munir juga
pernah membela istri dari para anggota “tim mawar” (yang sudah saya jelaskan di
atas) karena mengalami tekanan hidup dari beberapa pihak. Kemudian pada bagian
lain, cak Munir sering diundang dalam Sesko TNI dan PTIK Polri sebagai pemateri
dalam beberapa kuliahnya (tentunya terkait dengan hal – hal kemanusiaan).
September 2004 cak Munir mendapatkan beasiswa pasca sarjana
mengenai hukum humaniter di Amsterdam, Belanda. Beberapa hari sebelum 7
September cak Munir pamitan kepada
rekan – rekannya, beliau bersilaturahmi dari tempat ke tempat hingga pada
akhirnya tanggal yang dijadwalkanpun tiba. Tak disangka – sangka, pamitan itu pun menjadi salam perpisahan
untuk selamanya. Munir Said Thalib dibunuh di udara, diracun hingga ajal
mengganjarnya. Sontak banyak pihak menuntut pengusutan atas kematian cak Munir yang
tak wajar tersebut.
Besar dugaan ada campur tangan BIN atas kematian cak Munir.
Gelar perkarapun dimulai, sosok cak Munir dengan kevokalannya memang menjadi
sebuah ancaman bagi para sebagian “penguasa”. Kasus – kasus yang dikawalnya
kerap menjadi ancaman atas eksistensi kekuasaan. Beberapa nama disinyalir
terlibat atas kasusnya, nama – nama tersebut bukanlah nama baru melainkan nama
– nama yang dianggap bersalah pada kasus yang pernah dikawal cak Munir,
termasuk mantan deputi BIN pada tahun 1998 (Jenderal (Purn) Muchdi Pr).
Hasil dari gelar perkara menyimpulkan bahwa cak Munir
dibunuh dengan cara diracun pada saat pesawat (Garuda Indonesia Airlines)
transit di bandara Singapura. Racun tersebut dibubuhkan di dalam minumannya. Dan
yang menjadi pelaku pembunuhan adalah Pollycarpus, seorang pilot yang sedang
cuti dan menjadi corporate security pada
penerbangan tersebut.
“Wait? Siapa dia? Apakah dia rekan dari cak Munir? Ada dendam apa sampai cak Munir dibunuh?”
Publik pun termasuk saya mulai bertanya – tanya, siapa
Pollycarpus tersebut. Namanya hampir nihil ketika saya mencari – cari dalam
artikel yang membahas kasus mengenai kekerasan dan pelanggaran hak asasi di
tahun – tahun sebelumnya. Jelas publik tidak puas dengan hasil tersebut.
Bagaimana mungkin orang membunuh tanpa sebelumnya kenal atau tidak punya dendam
sedikitpun terhadap orang yang dibunuh. Jelas dibalik semua itu terdapat motif
dan siasat yang direncanakan oleh orang yang lainnya. Selang beberapa waktu
sang jenderal tersebut terseret dalam pengusutan kasus cak Munir, namun pada
akhirnya beliau bebas dari segala tuduhan sedangkan Pollycarpus dihukum seberat
14 tahun penjara.
Terlepas dari kasus cak Munir yang merupakan salahsatu kasus
pelanggaran HAM terberat, publik memberikan apresiasi yang luar biasa kepada
cak Munir. Dari dalam maupun luar negeri banyak yang memuji beliau, nama beliau
pun menjadi salah satu nama jalan di belanda selain itu juga dijadikan nama di
salahsatu ruang di kantor Amnesty Internasional belanda. Nama cak Munir memang
layak untuk didedikasikan sebagai semangat perjuangan menuntut kemerdakaan yang
sesungguhnya tanpa menindas ataupun ditindas.
Sosok cak Munir bagi saya adalah sosok yang jarang dijumpai.
Kalau boleh saya meminjam salahsatu judul film dokumenter mengenai beliau, “kiri hijau kanan merah” memang pas bagi
cak Munir. Beliau dalam keseharian di masa mudanya adalah aktivis dari HMI Malang dan sebagai sekretaris pondok Al – Irsyad Batu namun arah tujuan cak
Munir menjunjung tinggi hak – hak kaum “bawah”.
Dua hal tersebut dalam pandangan kini (setelah tahun 1965) memang dipandang
kontras. Bagaimana tidak, gerakan relijius memang sebagian besar meng”haram”kan
bibit "kiri" tumbuh dalam diri masyarakat. Sedangkan yang diklaim sebagai apa itu
gerakan "kiri" (tentunya setelah tahun 1965 pula) membela nasib “wong cilik” yang mana hal tersebut
menurut fahamnya adalah dasar dari negara tersebut.
Sejauh tulisan ini saya buat, saya hanya beropini dari hasil
membaca berbagai source yang ada di dunia maya dan
kunjungan pertama saya di museum omah munir. Teruntuk mas dan mbak yang membuat
tulisan – tulisan mengenai cak Munir saya ucapkan terimakasih banyak, tulisan
anda sebagai pembuktian bahwa cak Munir dibunuh karena benar dan semoga Tuhan
menghancurkan yang bathil. Sekian.
Sumber :
Omahmunir.com
id.wikipedia.org/wiki/Munir_Said_Thalib
nusantaranews.wordpress.com/2009/01/01/biografi-munir-seorang-pahlawan-ham-indonesia/
dan masih banyak lagi yang belum bisa saya sebutkan.
2 komentar:
Sedikit koreksi, yg diminum cak munir ialah jus jeruk bukan kopi.
Hehehe, kalau kopi namanya ganti kasus kopi arsenik dengan dalang aparat berkedok polycarpus dong.
#sedikitbergurau
So far sangat menginspirasi.
Salam perjuangan, salam mahasiswa
siap bung, terimakasih revisinya. Mungkin saya yang kurang kopi he he he he. Secepatnya direvisi bila sedang menghadap komputer
Posting Komentar